Tanggal 17 Desember 2025, kami para guru SMP Negeri 2 Lhokseumawe
melangkahkan kaki menuju Opak, Aceh Tamiang, untuk menyalurkan bantuan bagi
saudara-saudara kita yang terdampak banjir. Bencana itu datang pada 26 November
2025, menyapu rumah, jalan, dan sekolah. Namun ketika kami tiba, waktu seakan
berhenti. Luka bencana masih terbuka. Lumpur belum sepenuhnya dibersihkan.
Sekolah-sekolah masih berdiri dalam diam, menunggu uluran tangan.
Di sepanjang perjalanan, di antara puing-puing dan sisa kehidupan yang tercerai-berai, mata kami tertumbuk pada sebuah pemandangan yang sulit dilupakan. Sebuah piala kecil diletakkan di atas kulkas yang rusak, berdiri sendiri di pinggir jalan. Di sekelilingnya, kayu lapuk, perabot hancur, dan sisa-sisa banjir membisu. Piala itu tidak bersinar terang, tetapi kehadirannya terasa begitu kuat.
Harapan bagi anak-anak tidak selalu hadir dalam kebijakan besar
atau pidato panjang. Harapan lahir dari kepedulian yang nyata, ruang kelas yang
dibersihkan, sekolah yang diperbaiki, dan kehadiran negara yang terasa.
Anak-anak tidak menuntut lebih. Mereka hanya ingin kembali duduk di kelas,
belajar dengan tenang, dan merasa bahwa masa depan mereka berarti.





0 Comments