Kisah Hidup Seorang Putri dari Bireuen
Aku lahir di sebuah kota kecil yang hangat di Aceh, tepatnya di Bireuen, pada tanggal 28 April 1981. Aku adalah anak bungsu dari tiga bersaudari. Orang tuaku, M. Yunus dan Samsidar, membesarkanku dengan kasih sayang dan ketulusan yang luar biasa. Ayahku bekerja sebagai sopir bus antar kota—profesi yang membuatnya sering jauh dari rumah, namun selalu penuh semangat untuk menghidupi keluarga. Sementara ibuku, seorang ibu rumah tangga yang lembut dan penyayang, menjadi sosok yang menanamkan nilai kesabaran dan keikhlasan dalam hidupku.
Sejak kecil, aku sudah dikenal sebagai anak yang rajin dan berprestasi. Setiap jenjang sekolah—dari SD hingga SMA—aku selalu berada di peringkat istimewa. Belajar bukan hanya tentang angka bagiku, tapi tentang cara membanggakan kedua orang tuaku. Mungkin karena itu, mereka selalu menatapku dengan mata berbinar setiap kali aku pulang membawa rapor yang penuh nilai baik.
Tahun 1999 menjadi titik awal sebuah perjalanan besar. Aku diterima kuliah di luar provinsi, di Universitas Negeri Medan (UNIMED), Sumatera Utara. Itu adalah pertama kalinya aku jauh dari rumah, dari pelukan ibu dan nasihat lembut ayah. Sebenarnya, kuliah di sana bukan keinginanku sepenuhnya. Kakak keduaku lah yang mendorongku. Katanya, “Kita harus buktikan bahwa anak seorang sopir pun bisa bersekolah tinggi, bisa mencapai cita-cita.” Kalimat itu melekat di hatiku. Sejak saat itu, aku belajar bukan hanya untuk diriku sendiri, tapi juga untuk harapan keluargaku.
Lima tahun kemudian, pada 2004, aku menyelesaikan studiku. Tak lama setelah wisuda, Allah membukakan jalan yang indah—aku langsung mendapat tawaran mengajar di sebuah sekolah. Sekolah itu kini telah menjadi rumah keduaku. Dua puluh satu tahun sudah aku mengabdikan diri di sana. Di balik dinding kelas dan suara riuh siswa-siswiku, aku menemukan makna hidup.
Aku mencintai profesiku sebagai guru. Aku mencintai tempatku bekerja. Aku mencintai murid-muridku dengan segala tingkah mereka—kadang lucu, kadang melelahkan, tapi selalu membuatku belajar menjadi lebih sabar dan tulus. Setiap kali melihat mereka tumbuh dan berhasil, hatiku penuh rasa syukur.
Kini, setelah menjadi guru selama lebih dari dua dekade, aku menyadari bahwa mengajar bukan hanya tentang menyampaikan ilmu, tapi juga menanamkan nilai-nilai kehidupan. Setiap senyum murid, setiap ucapan terima kasih, bahkan setiap kenakalan kecil mereka—semua menjadi bagian dari cerita yang membuat hidupku bermakna.
Aku ingin murid-muridku tahu, bahwa asal-usul bukanlah batas, dan cita-cita tidak pernah mengenal garis nasib. Siapa pun kita, dari mana pun kita berasal, selama ada kemauan dan doa, jalan menuju keberhasilan akan selalu terbuka.
Dan untuk diriku sendiri, aku hanya ingin terus melangkah dengan hati yang bersyukur. Karena setiap hari di sekolah, setiap pelajaran yang kubagikan, adalah cara lain untuk berterima kasih kepada Allah atas hidup yang telah Ia anugerahkan.
🌿 Hidup bukan tentang seberapa jauh kita melangkah, tapi seberapa tulus kita menjalaninya. 🌿

0 Comments